AL-MAWAIDH AL-‘USFURIYAH
Kitab al-Mawaidh
al-‘Ushfuriyyah adalah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakr al-Ushfury.
Rincian riwayat hidup beliau sulit ditemukan. Mungkinkah karena sedikit karya
beliau yang tersebar? Entahlah. Untuk Kitab al-Mawa’idh al-‘Ushfuriyyah,
yang lebih terkenal sebagai kitab Ushfuriyyah, memang banyak dikaji
di berbagai pesantren salaf. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai kitab
pelajaran madrasah. Sebagian lagi menjadikannya sebagai kitab kajian harian,
ada juga yang mengkajinya hanya pada bulan Ramadan dalam paket pengajian
kilatan.
Pola penyusunan dan koleksi
Hadis-hadis berjumlah 40 hadis sendiri merupakan tren bagi sebagian ulama
salaf. Misalnya Imam an-Nawawi yang punya hadis Arba’in. Mereka terinspirasi
oleh hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra., bahwa
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang menghafal dari umatku 40 hadis
tentang perkara agamanya, maka Allah akan membangkitkannya di hari kiamat nanti
bersama golongan para fuqaha dan ulama”.
Meskipun para ahli Hadis
menilai hadis tersebut daif, namun sebagaimana ijmak ulama, hadis daif masih
bisa digunakan sebagai landasan dalam fadhailul a’mal (tambahan
keutamaan amaliah). Sebagai kitab Mawa’idh atau nasihat, Ushfuriyyah memiliki
sisi unik ketimbang sebagai kitab rangkuman hadits biasa.
1. Penuh Hikayat Unik
Sebagaimana diterangkan Syekh
Abu Bakar di bagian mukadimah, bahwa kitab ‘Ushfuriyyah memuat 40
hadis yang sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw yang ia peroleh dari para guru
pilihan. Mereka pun memperoleh hadits tersebut dengan sanad dari sebagian
sahabat Nabi. Selanjutnya, Syekh Abu Bakar menambahkan berbagai nasihat dan
hikayat yang ia dengar dari para guru.
Memang dalam kitab tersebut
terdapat banyak hikayat atau kisah yang unik. Hampir setiap hadis dilengkapi
satu atau dua kisah. Penamaan kitab ini dengan ‘Usfuriyyah (burung
pipit), nampaknya juga tak terlepas dari kisah yang tampil melengkapi hadis
pertama yang menerangkan tentang kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dikisahkan, Umar bin Khatab
Ra. satu ketika mendapati seorang anak kecil bermain burung pipit. Umar kasihan
melihat burung kecil itu dipermainkan sedemikian rupa. Ia lantas membeli burung
itu dari si bocah, lantas melepaskannya. Ketika Umar bin Khattab wafat,
sebagian ulama memimpikan bahwa ia mendapatkan rahmat Allah Swt. di alam kubur
sebab kasih sayangnya terhadap burung pipit tadi.
2.
Hadis-Hadis
Motivasi
Di antara 40 hadis yang dimuat
dalam ‘Usfuriyyah, banyak di antaranya yang berupa anjuran atau
motivasi. Sebagian anjuran terkait dengan bahasan tasawuf seperti anjuran
tobat, menghindari sombong, tidak putus asa. Sebagian lagi anjuran untuk
merutinkan bacaan atau perbuatan baik tertentu semisal membaca ayat al-Kursi,
surat al-Ikhlash, berangkat shalat Jumat lebih awal.
3. Kitabnya Tipis
Al-Mawa’idz
al-‘Ushfuriyyah hanya terdiri dari 30 halaman saja untuk
versi cetakan ala al-Hidayah, Surabaya. Kitab dengan jumlah halaman seperti itu
termasuk kitab kecil dalam kajian pesantren. Jika dikaji saat pengajian
Ramadan, biasanya diperuntukkan bagi santri yang taraf Ibtida’, pemula,
untuk menyesuaikan kecepatan mereka menulis makna.
4. Hadits tentang Keutamaan Ali R.A.
Dalam hadis ke 3, sebagai
tambahan dicantumkan pula sabda Nabi Saw, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali
adalah pintunya.”
Dikisahkan, ketika kaum
Khawarij mendengar adanya hadis tersebut, mereka ingin menguji kecerdasan Sayidina Ali
bin Abi Thalib. Lantas mereka memilih 10 orang perwakilan untuk “mengetes” Sayidina Ali.
Kesepuluh orang itu kemudian mendatangi Ali bin Abi Thalib ra. secara
bergantian. Mereka semua mengajukan satu pertanyaan yang sama, namun
mengharapkan adanya jawaban yang berbeda. Tujuannya, jika pertanyaan itu tidak
menghasilkan 10 jawaban berbeda dari Sayidina Ali, maka
berarti ia tidak pantas menyandang gelar Pintu Kota Ilmu. Ternyata,
dengan satu perntanyaan “Utama mana antara ilmu dan harta?” yang mereka ajukan,
terdapat 10 jawaban berbeda dari Sayidina Ali r.a.
5.
Kisah
Unik Menuju Kematian
Di halaman 23, hadits ke 22,
diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Ketika seorang hamba meninggal,
dan Allah mengetahui keburukan dari diri orang tersebut, sedangkan orang-orang
mengatakan bahwa hamba tersebut baik, maka Allah berfirman kepada para malaikat,
‘Saksikanlah, telah kuterima persaksian para hambaku terhadap hamba yang
lain, dan Aku ampuni dia padahal aku tahu tentang (keburukan) dirinya’.” Hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh as-Suyuthi dalam Jam’ al-Jawami’ dan
al-Bazzar. Al-Mundziri mengatakan bahwa hadis tersebut daif.
Dalam kisah pelengkapnya,
Syekh Abu Bakar menceritakan kisah seorang penipu ulung. Modus penipuannya
adalah dengan mengaku dekat dan akrab terhadap calon korbannya. Terkadang
mengaku teman lama yang terlupakan, kadang mengaku anak dari teman orangtua
mereka. Dengan sok akrab ia mengajak korbannya makan di rumah makan. Setelah
tinggal beberapa suapan ia akan pergi dengan alasan buang air. Penipu itu tak
akan kembali lagi, dan bisa dipastikan sang korbanlah yang harus membayar harga
makanan mereka berdua. Modus penipuan seprti ini ia lakukan berulang kali
sepanjang hidupnya.
Ketika ia sakit dan merasa
ajalnya kian dekat, si penipu lalu mengupah dua orang. Masing-masing dengan
upah 1 dinar. Ia berkata kepada mereka, “Kalau nanti aku telah mati, kalian
harus mengikuti jenazahku dan berkata di belakangnya Ini adalah orang
saleh dan suka berbuat baik. Kalian harus terus berkata seperti itu sampai
aku dikuburkan.” Dan, ternyata Allah mengampuni si penipu karena kesaksian dua
orang sewaan ini. Jangankan Anda, saya pun agak gimana membaca
kisah ini. Dari sisi hadits memang hadisnya dhaif, namun hadits dhaif bisa
diamalkan untuk amaliah non akidah.
Berikut kami berikan link
download kitab al-Mawaidh al-‘Ushfuriyyah dengan Makna Pesantren, mudah-mudahan
setelah anda mendownloadnya, kitab ini dapat bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar